EF Schumacher dalam
bukunya Small is beautiful membagi
eksistensi makhluk menjadi benda mati
‘a’, tumbuhan ‘a+b’, binatang ‘a+b+c’ dan manusia ‘a+b+c+d’. Dari perbandingan
itu kita tahu bahwa anak cucu adam merupakan
makhluk paling sempurna (ahsani taqwim).
Tetapi seiring dengan itu, sang makhluk berakal ini dapat terjerembab menjadi makhluk yang
serendah-rendahnya (asfala safilin).
Sebuah ilustrasi misalnya,
andaikan ada seekor musang yang kelaparan dan menemukan ayam dalam kandang
sebanyak sepuluh ekor. Maka kemungkinannya,
binatang tersebut hanya akan mengambil satu ekor ayam saja. Musang ‘mencuri’ sekedar
untuk memenuhi rasa laparnya. Nah, bagaimana kalau yang lapar itu manusia dan
ingin mencuri ayam? Bisa jadi ke sepuluh ayam tersebut akan dicuri semuanya.
Manusia, kalau baik akan melebihi malaikat. Dan sebaliknya kalau jahat, akan melebihi syetan.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” ( al-A’raf 179).
Binatang ternak mempunyai mata, telinga
dan juga hati. Tetapi semua kelengkapannya itu tidak bisa dipakai memahami
‘ayat-ayat Allah’. Manusia yang juga memiliki alat indera dan hati seharusnya lebih baik dari binatang ternak.
Adalah hal yang wajar, bila binatang
ternak tak bisa membedakan rumput milik sendiri atau bukan. Sebaliknya,
merupakan hal yang kurang ajar, kalau ada manusia yang perilakunya melebihi
binatang dibanding binatang. Itulah yang disebut Allah dalam ayat di atas
dengan istilah “bahkan lebih sesat lagi
(bal hum adhal)”.
Puasa yang merupakan
terjemahan dari ‘shaum’ ataupun ‘shiyam’ secara arti kamus sama
dengan ‘imsãk’ yang artinya menahan, menjaga jarak, berpantang, berhenti
dan sebagainya, sebenarnya sebuah training yang sangat efektif agar manusia dapat
mengendalikan hawa nafsunya sehingga tidak
terjatuh menjadi binatang atau bahkan yang lebih buruk.
Akhirnya, marilah dengan
berpuasa kita sempurnakan tabel EF Schumacher di atas. Bila eksistensi manusia dalah ‘a+b+c’, maka manusia beriman menjadi
‘a+b+c+d’ dan manusia bertakwa ‘a+b+c+d+e’. Takwa is beautiful (Takwa itu
indah).
OLEH
AJIB SETYA BUDI UNTUK KORAN MERAPI PEMBARUAN, 19 AGUSTUS 2011
Comments
Post a Comment